Cikopi, Kopi Kebanggaan Desa Cikolelet

Sabtu pagi tanggal 15 Februari 2020 saya bergegas menuju ke arah Anyer. Target saya hari itu adalah mencicipi dan (mudah – mudahan) bisa membawa sedikit oleh – oleh yang sudah cukup lama saya incar, yaitu kopi!

Awal ketertarikan saya dengan kopi yang unik ini adalah obrolan singkat dengan teman kantor saya, yang kebetulan asli Jiput, Pandeglang.
“Ada kak! Anyer punya kopi juga!”, protes Luki saat saya bercanda soal kampung halaman siapa yang paling “keren”.
“Ah, ngga percaya Luk! Tinggi tanahnya aja di sana cuma berapa?
Paling maksimal juga 100-200 MDPL. Mana bisa tumbuh atuh Luk!”

Diam – diam saya penasaran juga dan mulai riset kecil – kecilan di internet, dan akhirnya saya menemukan tautan ini.
Wow, beneran ada nih. Kok bisa ya cuma 200 MDPL, tapi bisa tumbuh dan kayanya kualitasnya baik.

OK, saya mulai rencanakan untuk kunjungan ke desa Cikolelet, sesuai dengan artikel di atas. Sayang, rencana saya belom berhasil dijalankan karena selalu terbentur acara lain.
Hingga akhirnya sabtu kemarin yang cerah, saya berhasil menunaikan rencana tersebut.

Jalan menuju Anyer boleh saya bilang sangat bersahabat, saya hanya membutuhkan waktu kurang dari 2 jam untuk sampai di Indomaret yang semula saya rencanakan untuk jadi tempat parkir mobil saya dan lanjut naik ojek. 5 menit saya di Indomaret, tengok kiri kanan mencari ojek dan tidak dapat akhirnya saya memberanikan diri membawa mobil ke Cikolelet, walaupun dari beberapa blog yang saya baca, nyaris semuanya menyarankan naik ojek saja karena jalan yang kurang baik, terlebih kalau musim hujan.

Ternyata memang benar, jalanan cukup rusak. Untungnya mobil saya memiliki ground clearance yang tinggi, jadi tidak menjadi masalah.
“Ah, ini masih belom seberapa dibandingkan dengan dulu salah jalan di lereng gunung Merapi”, gumam saya sambil menghibur hati.

Jarak yang ditunjukan oleh Waze tinggal 2 km menuju balai / kantor kepala desa Cikolelet dan kondisi jalanan menjadi sangat baik. Jalanan sudah dicor beton.
Akhirnya tiba juga saya di “tugu” selamat datang desa wisata Cikolelet.

Tugu Selamat Datang di Desa Wisata Cikolelet
Tugu Selamat Datang di Desa Wisata Cikolelet

Sepanjang perjalanan saya kagum dengan kebersihan dan suburnya tanah di daerah ini. Rambutan, lengkeng, pisang, pepaya, petai, durian, sawo, buah naga, jeruk, buni, murbei, dan buah lainnya tumbuh dengan begitu baik.
“Desa ini diberkati dengan tanah yang subur”, pikir saya.

Setelah menanyakan ke beberapa warga di mana saya bisa beli kopi Cikolelet, saya diarahkan ke kampung kopi.
Petunjuk jalan yang banyak tersebar di pinggir jalan cukup memudahkan tamu yang datang ke desa wisata ini.
Sampai di kampung kopi, saya sempat bertanya ke-2 warga dan semuanya tidak ada yang tahu perihal kopi yang saya maksud.
Seorang bapak warga kampung kopi, dengan ramah meminta saya untuk mampir dan ngobrol. Dijelaskan oleh bapak ini bahwa tidak ada penghasil / petani / kebun kopi di daerah ini, hanya namanya saja kampung kopi.
“Di sini, kami lebih banyak menanam melinjo”.
Iya juga dalam hati saya, sepanjang pekarangan warga yang saya lihat hanyalah deretan pohon melinjo.
“Duh, apa artikel yang saya baca salah ya? Sayang juga sudah jauh – jauh dari rumah ternyata gagal”, saya sedikit agak kecewa.

Dalam perjalanan keluar dari kampung Cikolelet, saya masih ngotot dan mencoba peruntungan saya terakhir kali dengan menanyakan ke salah seorang pemuda yang kebetulan sedang duduk – duduk di pos masuk kampung kopi.
“Oh, itu jangan – jangan kopi kang Wanda! Coba aja pak balik lagi ke arah kantor kepala desa terus nanti tanya di SD dekat sana, kampung Cisirih”
Wow, jadi semangat lagi saya 🙂

Ternyata benar, yang saya cari ternyata ada di kampung Cisirih. Ibu – ibu warga desa, memberikan petunjuk untuk ke rumah kang Wanda.
Jalannya sudah dicor beton, tapi hanya pas untuk 1 mobil.
Sempat gentar juga saya karena kalau ada mobil dari arah berlawanan, bisa – bisa saya harus mundur cukup jauh dan jalannya berkelok – kelok plus naik turun. Wah, bakal repot nih!
Ah, tapi sudah nanggung. Masa menyerah di tengah jalan?

Persis sebelum jembatan kecil, saya parkirkan mobil saya dan saya jalan kaki menyusuri jalanan yang menanjak sejauh ± 100 meter.
Oleh seorang bapak yang baik hati, saya diantar sampai ke rumah kang Wanda, tetapi kok rumahnya tutup?
Kembali saya dibantu oleh ibu – ibu tetangga untuk mencari dimana kang Wanda. 5 menit menunggu, si ibu tersebut memberitahu saya bahwa kang Wanda sedang ke kebun dan biasanya baliknya tidak tentu.
Duh! Lagi – lagi berita buruk.

Terpaksa saya putar balik untuk pulang.

Sebelum keluar desa Cikolelet saya masih ngotot dan mencoba menelpon nomor yang diberikan oleh ibu tetangga kang Wanda.
Tidak diangkat.
Ok deh saya tinggalkan pesan WhatsApp saja.

Persis sebelum saya keluar ke jalan raya Anyer Carita, pesan WhatsApp saya dibalas dan ditanyakan posisi saya dimana. Saya beritahu bahwa saya masih di Cinangka karena saya berencana berkunjung ke tempat “teman” saya di daerah Bulakan.
“Sorean saya balik lagi ke sana ya Kang!”

Pantai Bulakan Anyer
Pantai Bulakan Anyer

Hampir 2 jam saya di Bulakan; ngobrol, makan sampai sempat tertidur di saung pak Huri.
Ada cerita dari ibu penjual emping tentang pak Huri dan saya, yang membuat saya terharu.
Tentang hal sederhana, yang kita anggap remeh, ternyata bisa jadi sangat berkesan buat orang lain.
Seperti di-recharge, saya menjadi segar kembali!

Karena cuaca yang mulai kurang bersahabat dan menunjukan gejala – gejala mau hujan, saya permisi ke keluarga pak Huri.
Pak Huri berjanji nanti kalau saya datang lagi, insya allah tungku buat membakar ikan sudah siap dan saya bisa pesan ikan untuk dibakar, ikan yang paling segar!

Kali ini saya parkirkan mobil saya di Alfamart yang lokasinya tidak terlalu jauh dari Indomart yang tadi pagi saya berhenti.
Tidak seperti di Indomart pagi tadi, sekarang sudah terlihat banyak bapak ojek pangkalan yang sedang menunggu penumpang.
Saya nego harga dan langsung tancap gas ke kampung Cisirih.

Sensasi naik motor lebih mengasyikan!
Hawa pedesaan menuju desa Cikolelet yang sejuk segar disertai hamparan kebun buah – buahan, sangat memanjakan mata saya.
Saya bersyukur untuk hari yang indah yang Tuhan berikan untuk saya.

Pemandangan di atas ojek
Penuh vitamin H(ijau).
Pemandangan di atas ojek
Subur sekali tanahnya.

Akhirnya sampai juga saya di rumah kang Wanda dan disambut dengan begitu hangat.
Kami disuguhkan kopi yang langsung digiling oleh kang Wanda.

Kang Wanda dan kopi Cikolelet kebanggaannya.

Banyak hal yang kami bicarakan, mulai dari kisah kang Wanda memulai insiatif menanam kopi, meng-edukasi teman – teman pekebun kopi tentang bagaimana menanam sampai memanen kopi yang baik, sampai cerita tentang pameran diadakan oleh pemkab Serang.

“Kemarin di pameran kopi banyak yang memuji kopi kami. Sekian kilogram kopi yang kami bawa ludes dan sampai sekarang orang masih terus mencari kopi kami”

“Kemarin di pameran juga ada bapak yang sampai memakan ampas dari kopi yang kami sajikan”.
“Ini kopi baik sekali kualitasnya! Dari ampasnya saya bisa merasakan cita rasa manisnya!”, kesan salah seorang bapak yang datang ke stand dan mencicipi kopi Cikolelet.

“Wah pak, ini kalau kemarin saya tidak tolak, mungkin sore ini kita tidak bisa ngopi”, guyon kang Wanda.
Dalam hati saya bersyukur, untung masih tersisa (walaupun sedikit), kopi yang bisa saya cicipi dan harap – harap bisa saya bawa pulang.

Biji kopi Cikolelet
Biji kopi Cikolelet

“Pak tapi maaf sebelumnya, ini bukan kopi terbaik kami”, kata – kata ini banyak kali dilontarkan oleh kang Wanda.
“Kopi terbaik kami sudah habis dan harapan kami sekitar bulan April, kami sudah bisa panen lagi”.
“Kalau kopi yang kita minum sekarang ini cukup banyak tercampur oleh biji kopi yang masih muda”.
“Saya masih terus mengedukasi teman – teman pekebun kopi Cikolelet supaya hanya memetik kopi yang sudah matang, yaitu yang berwarna merah” tambah kang Wanda.

Sekilas tentang kopi Cikolelet, yang merupakan kopi asli daerah Anyer.
Sebenarnya selain Cikolelet, masih ada daerah lain penghasil kopi.
Sebutlah desa Mekarsari.
Namun seperti di awal cerita saya di blog ini, kopi Cikolelet menjadi sangat unik karena mampu tumbuh dan berbuah dengan baik di tanah yang memiliki ketinggian “sangat rendah” untuk kopi, yaitu 200 MDPL.

Kopi Cikolelet tumbuh di hutan Cigalenggang, dengan luasan sekitar 35Ha.

Buah Kopi Cikolelet
Buah Kopi Cikolelet

Rasa penasaran saya akan cita rasa kopi yang tumbuh di ketinggian “sangat rendah” ini terjawab sudah.
Cita rasa yang unik dan kualitas kopi yang baik disertai dengan passion dari para petani / pekebun kopi membuat saya optimis, bahwa suatu saat nanti, kopi Cikolelet akan kembali berjaya.

Ilustrasi cita rasa kopi yang tumbuh di kondisi tanah yang berbeda
Ilustrasi cita rasa kopi yang tumbuh di kondisi tanah yang berbeda

Sebelum pulang, kembali iseng saya bertanya apakah masih bisa saya dibawakan oleh – oleh kopi?
“Oh bisa pak”, jawab kang Wanda sambil menggiling kopi.

Kopi Cikolelet kemasan 100gr
Yay! Sebungkus kopi Cikolelet sudah di tangan saya 🙂

Akhirnya karena hari sudah semakin sore, saya pamit pulang dan berharap saya bisa dihubungi saat panen besar kopi yang diperkirakan datang di bulan April .